Modifikasi Proses Untuk Inovasi Produk Baru

 



Sejarah pembuatan kertas dimulai
sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Hal tersebut karena manusia punya kebutuhan
untuk berkomunikasi dan mencatat pikiran-pikiran atau gagasan-gagasannya,
sehingga mendorong menciptakan media untuk maksud tersebut. Diawali dari media
sangat sederhana seperti batu, tulang, daun tanaman, kulit binatang, hingga
lembaran kertas seperti yang kita temui saat ini. Bahkan kata kertas yang dalam
bahasa Inggris paper berasal dari kata papyrus yakni sejenis tanaman
alang-alang yang tumbuh di pinggir alliran sungai. Nenek moyang bangsa Mesir menemukan
material seperti kertas dari papyrus tersebut, bahkan selama sekitar 4000 tahun
Mesir memonopoli produksi papyrus tersebut. Hal tersebut terutama
karena papyrus hanya tumbuh subur di pinggriran sungai Nil di Mesir. Bahan
baku, teknik produksi dan kualitas kertas yang dihasilkan senantiasa
berubah-ubah mengikuti kemajuan teknologi dan bahan baku yang tersedia.
Penemuan kertas pertama tercatat di China sekitar tahun 100 masehi dan selanjutnya
menyebar ke jazirah Arab. Sementara muslim Arab
pada abad kedelapan masehi membawa kertas dan teknik pembuatannya di kawasan
Mediterania dan pada akhir abad kedelapan tersebut kertas telah diproduksi di
Baghdad, ibukota kekhalifahan Abbasiyah di pusat Iraq. Hal tersebut membuat
teknik pembuatan kertas tersebut menyebar ke seluruh wilayah kekuasaannya. Hal
tersebut khususnya juga menyebar ke kawasan Mediterania dan menggantikan
papyrus dan perkamen (dari kulit domba atau kambing) yang sebelumnya mendominasi
beribu-ribu tahun. Sedangkan Eropa Kristen baru mulai belajar membuat kertas
pada abad kedua belas. 



Ketidaktersediannya bahan baku
seperti di China membuat produksi kertas di Arab menggunakan pakaian-pakaian
bekas yang tidak terpakai, begitu juga terjadi pengembangan teknik produksinya.
Pembuatan kertas pada saat itu sangat tergantung suplai air bersih. Hal
tersebut karena hanya dengan air tersebut untuk memucatkan (bleaching) serat
tersebut sebelum penemuan klorin pada abad kedelapan belas, yang selanjutnya
dikeringkan dengan sinar matahari untuk mendapatkan kertas putih. Kondisi
tersebut terus berlanjut hingga ke daratan Eropa sehingga teknik produksi dan
kualitas kertas semakin baik. Bahkan penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg
pada 1436 membuat buku lebih mudah diproduksi lebih cepat dan murah. Era ini
juga menandai akselerasi peradaban baru tersebut karena budaya membaca buku
menjadi meningkat pesat sehingga kebutuhan kertas juga dengan sendirinya
meningkat.  Penggunaan bahan kimia untuk
produksi kertas dimulai sekitar tahun 1800 yakni kayu yang telah dihancurkan
selanjutnya “dicerna” dengan bahan kimia termasuk penggunaan sulfate. Kertas
mampu memberi dorongan dari budaya lisan (oral) menjadi budaya tulis dan
pengembangan sejumlah sistem notasi seperti bahasa, matematika, transaksi
komersial, architectural drafting, rumus-rumus kimia, yang merupakan dari
produk sejumlah penemuan dan persebaran buku-buku cetak.  Singkat kata kertas telah menadai “era peradaban
baru” seperti yang kita alami saat ini. 

Produksi bubur kertas (pulp)
pada dasarnya adalah melepaskan serat selulose dan hemiselulose dari lignin
dengan bahan kimia tertentu. Pada saat proses ektraksi selulose tersebut, bahan
ekstraktif juga ikut dipisahkan.  Serat
selulose dan hemiselulose tersebut juga dijaga untuk tetap utuh, sehingga meningkatkan
yield dari serat yang bisa digunakan. Serat yang dihasilkan tersebut secara
alamiah juga berwarna sesuai jenis bahan bakunya dan harus dipucatkan
(bleaching) sebelum bisa digunakan untuk kertas. Dalam proses pemucatan
(bleaching) itupun harus diupayakan sedemikian rupa sehingga serat selulose
tersebut tidak sampai tambah rusak, termasuk penggunaan bahan kimia selektif
untuk bleaching agent tersebut. Selulose adalah bahan organik utama pada
tanaman kayu-kayuan, ketika diolah menjadi kertas maka bisa menjadi produk
kertas yang beraneka ragam. Setelah serat selulose tersebut dipisahkan atau
dilepaskan dari pengikatnya yakni lignin sehingga menjadi pulp, dari pulp
tersebut selanjutnya direkatkan kembali sehingga membentuk kertas dengan
perekat tertentu. Kayu lunak adalah bahan baku yang lebih banyak digunakan
untuk produksi bubur kertas tersebut karena serat selulose-nya lebih panjang
(sekitar
3–4
mm panjangnya dengan diameter 25–30
mikro). Kandungan lignin yang rendah pada
kayu keras digunakan untuk produksi kertas khusus dimana kehalusan dan
kelembutan diinginkan.

Kraft Pulping Proces
Ada sejumlah proses dan variasi dari proses dasar yang bisa
digunkan untuk produksi pulp dari kayu. Proses utama yang digunakan oleh
industri kertas saat ini proses kraft (biasa dikenal proses sulfate), proses
termokimia, proses semi-kimia dan proses sulfit. Proses kraft masih paling
popular dan paling banyak digunakan saat ini atau arus utama pada proses
produksi kertas. Hal tersebut seperti penggunaan limestone scrubber pada
treatment gas buang pembangkit listrik khususnya pembangkit listrik batubara,
lebih detail bisa dibaca disini. Keunggulan proses kraft dibandingkan proses
lainnya adalah yield selulose tinggi dan recovery liquor, sehingga proses
menjadi efisien atau cost produksi murah. Proses produksi kertas dimulai dengan
penggunaan kayu berdiameter 8 cm up, selanjutnya kayu tersebut dikupas kulitnya
(debarking). Proses debarking bisa dilakukan secara mekanik maupun dengan air
bertekanan tinggi pada 1400 psi tegak lurus dengan batang kayu tersebut. 

Blu Karb Carbonisation
Pabrik kertas selalu ditopang
oleh perkebunan kayu yang luas sebagai sumber bahan bakunya, seperti perkebunan
atau hutan akasia. Kayu-kayu berdiameter kurang dari 8 cm atau kisaran 5-8 cm
bisa digunakan untuk produksi arang. Dengan teknologi karbonisasi yang teruji
dan proses semi-kontinyu kapasitas 3000 ton/tahun dengan kualitas arang
melebihi standar Eropa (fixed caron >82%) bisa dicapai, untuk lebih detail
bisa dibaca disini. Sedangkan kayu-kayu berupa ranting-ranting yang lebih kecil
juga bisa dimanfaatkan untuk produksi briket atau pellet. Briket lebih mudah
secara teknis dan lebih murah biaya produksinya, lebih detail bisa dibaca
disini. Dengan cara seperti itu maka limbah-limbah kayu tersebut bisa
dimanfaatkan secara optimal atau bahkan zero waste. 
 

Setelah kayu-kayu besar tersebut dikupas
dan dikupas kulitnya selanjutnya dikecilkan ukurannya menjadi chip. Wood chip
tersebut lalu dimasukkan ke dalam digester (pressure vessel) yang berkapasitas
1500-3600 cubic feet dan recovered cooking liquor ditambahkan.  Setelah proses digestion dalam digester
(pressure vessel) tersebut selesai selanjutnya tekanan diturunkan menjadi 80
PSI dan isinya dituang ke dalam tangki. Selanjutnya pulp tersebut difilter dan
diolah lanjut seperti diagram diatas sehingga menjadi produk akhir berupa
kertas.





Lalu bagaimana jika proses kraft
tersebut dibalik prosesnya? Pada proses kraft yang terjadi adalah serat
selulose dipisahkan dari lignin dan dijaga dalam kondisi utuh atau selulose
menjadi produk utama. Ketika proses dibalik berarti lignin dipisahkan dari selulose
dan dijaga utuh atau lignin menjadi produk utama. Hal tersebut berarti lignin
yang dihasilkan dari proses kraft berbeda dengan lignin dari proses
kebalikannya secara kualitas, demikian juga selulose yang dihasilkan dari
proses kraft juga akan berbeda kualitas dari proses kebalikannya tersebut.
Mengapa perlu membalikkan proses kraft tersebut? Apa tujuannya dan apakah
memberi keuntungan? Tentu saja alasan utamanya adalah untuk menciptakan bisnis
baru yang lebih menguntungkan. Diversifikasi produk tersebut diproyeksikan
memiliki peluang pasar dan keekonomian lebih baik pada masa mendatang daripada
produk kertas. Produk yang dihasilkan dari proses tersebut adalah gula selulose
dan lignin dari kayu-kayu pohon tersebut. 

Gula selulosa berasal dari biomassa non-makanan (misalnya kayu dan limbah-limbah pertanian). Biomassa terutama terdiri dari polimer karbohidrat selulosa , hemiselulosa , dan polimer aromatik (lignin). Hemiselulosa adalah polimer yang sebagian besar terdiri dari gula lima karbon C 5 H 10 O 5 ( xilosa ) dan selulosa adalah polimer dari gula enam karbon C 6 H 12 O 6 ( glukosa ).  Selulosa adalah senyawa organik yang paling umum di Bumi. Sekitar 33% dari semua materi tanaman adalah selulosa (isi selulose dari kapas adalah 90% dan dari kayu adalah 40-50%). Selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia, hanya dapat dicerna oleh hewan yang memiliki enzim selulose. Serat selulosa dianggap sebagai blok bangunan struktural tanaman dan terikat erat dengan lignin, tetapi biomassa dapat didekonstruksi menggunakan hidrolisis asam , hidrolisis enzimatik , disolusi organosolv, autohidrolisis atau hidrolisis superkritis. 

 

Teknik Fraksinasi Organosolv

Teknik Hidrolisis Enzimatik


Ketika akan produksi gula C5 dan
C6 tersebut dengan menggunakan hidrolisis enzimatik, maka enzim harus bisa
mengunyah selulose tersebut dengan mudah dan mengkonversinya menjadi gula C5
dan C6 dan selanjutnya memisahkan gula-gula tersebut dari lignin. Sehingga
output yang keluar dari unit proses tersebut ada dua arus utama yakni gula dan
lignin. Struktur molekul dari lignin yang dihasilkan juga mendekati seperti
yang ada pada pohon daripada lignin yang dihasilkan dari proses kraft. Lignin
yang dihasilkan juga bisa digunakan pada produksi resin, bahkan ada potensi
besar penggunaan lignin dan gula tersebut untuk menciptakan feed additives pada
ternak. 






Produksi gula selulose dengan berbiaya murah dan kapasitas besar juga sudah dilakukan oleh perusahaan berbasis di Amerika Serikat, dan ini bisa jadi merupakan satu-satunya pemain komersial yang memanfaatkan teknologi hidrolisis superkritis sebagai jalur produksi gula selulosa, yakni dengan produksi 100.000 ton/tahun. Gula ini dapat diproduksi dari berbagai macam bahan baku dan dapat diubah menjadi berbagai produk biokimia , biofuel , dan polimer baik melalui jalur biologis maupun kimiawi. Salah satu aplikasi penggunaan gula selulosa tersebut adalah bahan baku bioplastic. Plastik sendiri adalah salah satu produk polimer. Tingginya pencemaran lingkungan akibat plastik dari petrokimia mendorong penggunaan dari bahan terbarukan. Bahkan perusahaan tersebut telah membuat kerjasama dengan industri kertas di Eropa untuk produksi gula selulose tersebut. Menurut perusahaan Rentmatix, 1 juta ton gula selulose dikatakan mencukupi untuk membuat biodiapers untuk 24 juta bayi selama 3 tahun atau menerbangkan 100 pesawat Boeing 747 selama 8 hari berturut-turut atau membuat 120 milyar compostable plastic cup atau menjalankan 1 juta mobil sejauh 2000 mil dengan bioethanol atau membuat cat untuk 14 juta rumah baru. Bahan-bahan kimia terbarukan juga bisa diproduksi dengan bahan baku gula selulose tersebut. Saat ini juga banyak bermunculan pabrik-pabrik yang produksi bioetanol untuk bahan bakar cair dengan rute proses tersebut, yakni gula C5 dan C6 yang dihasilkan lalu difermentasi untuk menghasilkan ethanol, sehingga biasa disebut proses biomasa ke ethanol. 

 




Gula selulosa digunakan sebagai sumber daya terbarukan untuk industri biokimia dan biofuel dan dapat digunakan untuk memproduksi zat antara melalui proses fermentasi. Ketersediaan gula industri dari sumber daya terbarukan, dalam jumlah yang cukup dan dengan biaya yang menguntungkan memungkinkan produk tersebut bersaing biaya dibandingkan produk berbasis bahan bakar fosil. Sebuah studi tahun 2012 oleh Nexant memperkirakan bahwa di masa depan, akan memungkinkan dan berpotensi secara ekonomi untuk menghasilkan semua jenis produk kimia berbasis gula dari biomassa karena perkembangan dalam pemrosesan selulosa.

Komentar

Popular post